Sabtu, 27 November 2010

Tugas ISD (STATUS KEWARGANEGARAAN ANAK DALAM PERKAWINAN CAMPURAN )

STATUS KEWARGANEGARAAN ANAK DALAM PERKAWINAN CAMPURAN

Seiring dengan berkembangnya tekhnologi dan kehidupan yang semakin modern. Kemajuan manusia dalam berkomunikasi dan bermobilisasi berkembang sangat pesat. Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campuran juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain. Kemajuan dalam hal komunikasi dan mobilisasi dewasa ini, ternyata membuat pernikahan campuran menjadi sebuah fenomena baru yang semakin lumrah terjadi di tengah masyarakat, dimulai dari publik figure hingga masyarakat umum. Perkawinan campuran Dalam perundang-undangan di Indonesia, didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 : ”yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.

Pada masa Penjajahan, perkawinan campuran dilakukan oleh penjajah(umumnya oleh Pria) dengan wanita pribumi, sehingga timbullah istilah Nyai bagi wanita pribumi yang menikah dengan orang asing atau penjajah pada masa itu. Namun Pada saat itu Indonesia belum mendapatkan kemerdekaannya, sehingga tidak dapat memberikan peraturan yang dapat melindungi warga negaranya. Contoh perkawinan campuran antara penjajah dengan wanita pribumi di atas memperjelas bahwa perkawinan campuran yang akan saya bahas di sini adalah perkawinan campuran antara manusia yang memiliki perbedaan kewarganegaraan, dan bukan perkawinan campuran antara manusia yang memiliki perbedaan ras.

Untuk melindungi dan membatasi hak-hak yang harus didapatkan dan kewajiban yang harus dijalankan oleh pasangan yang melakukan perkawinan campuran, maka pemerintah membuat UU yang mengatur tentang perkawinan campuran. Berikut adalah beberapa UU yang dibuat pemerintah RI dalam mengatur dan melindungi hak dan kewajiban warga negaranya dalam kasus pernikahan campuran:

Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara warga negara indonesia dengan warga negara asing, mengacu pada UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Seiring berjalannya waktu UU ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan anak.

Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.

Dalam sistem hukum Indonesia, Prof. Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No. 62 tahun 1958.

Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.

Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru. Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu yang menikah dengan warga negara asing, walaupun pro dan kontra masih saja timbul, namun secara garis besar Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran.

Sebagai contoh kasus Manohara Odelia Pinot. Seorang model yang menikah dengan Pangeran Klantan dari Malaysia, Tengku Muhammad Fakhry, di saat usia Manohara berusia 16 tahun, dimana manohara adalah anak hasil perkawinan campuran dengan Ibu, Daisy Fajarina (kebangsaan Indonesia) dan Ayah, Reiner Pinot Noack (kebangsaan Perancis). Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

MeskipunManohara telah menikah dengan Tengku Muhammad Fakhry status Manohara tetaplah seorang anak yang memiliki kewarganegaraan ganda yaitu Indonesia-Perancis. Manohara belum dapat menentukan kewaganegaraannya sendiri. Sehingga

Manohara tetap harus tunduk pada seluruh peraturan di indonesia selama ia tinggal atau menjadi penduduk Indonesia. Begitupun status anak perkawinan campur lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar